ARTIKEL ILMIAH
PENGARUH TINDAKAN KEKERASAN PEREMPUAN TERHADAP LINGKUNGAN
MASYARAKAT.
”Sebagai Syarat Untuk Mengikuti
Latihan Khusus Kohati (LKK)”
Disusun
oleh:
Putri
Eka Dewanti
HIMPUNAN
MAHASISWA ISLAM (HMI)
KOMISARIAT
PAGERAGEUNG
CABANG
TASIKMALAYA
2019
PENGARUH TINDAKAN KEKERASAN PEREMPUAN TERHADAP LINGKUNGAN
MASYARAKAT.
Putri
Eka Dewanti
Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Pagerageung Cabang
Tasikmalaya, Jln.Bojong Benteng ,Tanjungkerta, Pagerageung, Kab. Tasikmalaya.
Eka810639@gmail.com
ABSTRAK
Violence against women
is always connoted with gender-based violence. It is not without cause, because
the reality of violence against women in any context and the domain is due to
the cultural dominance of men against women. Cultural domination is what
ultimately makes the lame pattern of relationships between men and women, with
a pattern of inferiority and superiority. This is actually happening behind the
acts of violence against women is highly implicated in the reality of society
over the years
Kekerasan terhadap
perempuan selalu dikaitkan dengan kekerasan berbasis gender. Ini bukan tanpa
sebab, karena realitas kekerasan terhadap perempuan dalam konteks apa pun dan
wilayahnya adalah karena dominasi budaya laki-laki terhadap perempuan. Dominasi
budaya inilah yang akhirnya membuat pola hubungan yang timpang antara pria dan
wanita, dengan pola inferioritas dan superioritas. Ini sebenarnya terjadi di
balik aksi kekerasan terhadap perempuan yang sangat berimplikasi pada realitas
masyarakat selama ini.
PENDAHULUAN
Konsep serta
praktek budaya yang banyak berlaku di masyarakat sejak jaman dulu sering
menempatkan perempuan sebagai manusia yang tidak sederajat dan tidak sejajar dengan
laki-laki. Bahkan seringkali perempuan diperlakukan seperti tidak mempunyai
harga diri, martabat, maupun hak. Hal ini kemudian memunculkan banyak kasus
pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan yang sampai saat ini tetap terjadi,
yang memanfaatkan lemahnya posisi dan masih kurang luasnya upaya advokasi dan
pemberdayaan terhadap perempuan.
Berbagai
penelitian menunjukan bahwa tindakan kekerasan terhadap perempuan merupakan
ancaman terus menerus bagi perempuan di manapun di dunia, walaupun diakui bahwa
angka tindak kekerasan terhadap laki-laki lebih tinggi dibandingkan tertiadap
perempuan. Akan tetapi hams diingat bahwasannya kedudukan perempuan di sebaglan
dunia yang tidak dianggap sejajar dengan laki-laki. membuat masalah ini menjadi
suatu momok bagi kaum perempuan. Terlebih lagi, rasa takut kaum perempuan
terhadap kejahatan (fear of crime) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa
yang dirasakan kaum pria. Pemyataan ini berlaku di seluruh dunia, tanpa
memandang batas wilayah maupun waktu. Walaupun kenyataan menunjukan bahwa
sebagian besar korban kejahatan adalah laki-laki, akan tetapi dapat difahami
bahwa kerentanan wanita secara kodrati (dalam aspek jasmaniah) membuat fear
ofcrime mereka lebih tinggi.
Lebih jauh
lagi, apabila dikaitkan dengan isu tindak kekerasan terhadap perempuan, derita
yang dialami oleh perempuan baik pada saat maupun setelah terjadi kekerasan
pada kenyataannya jauh lebih traumatis daripada yang dialami laki-laki. Trauma
yang lebih besar umumnya terjadi bila kekerasan ini dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai hubungan khusus dengan dirinya, misalnya keluarga sendiri (ayah,
paman, suami, pacar), orangorang yang berkenaan dengan pekerjaannya (atasan
atau teman kerja). Akan tetapi kejadian yang terjadi dibeberapa wilayah di
Indonesia juga menambahkan satu katagori lagi yang harus ditakuti perempuan,
yakni orang-orang yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan bersenjata,
sebagaimana yang dilaporkan terjadi di Jakarta (pada medio 1998) dan Aceh (yang
menurut informasi sampai sekarang masih berlangsung). Ketiadaan proses yang
menangani peristiwa-peristiwa yang disebut terakhir ini sangat jelas menunjukan
lemahnya perlindungan bagi perempuan terhadap tindak kekerasan, dan rendahnya
komitmen pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus secara yuridis.
Kekerasan
terhadap perempuan yang menjadi sorotan
tulisan ini yakni kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi di
lingkungan masyarakat maupun keluarga. Dewasa ini kekerasan terhadap perempuan
dan anak sangat mencemaskan banyak kalangan terutama kalangan yang peduli
terhadap perempuan. Walaupun sejak tahun 1993 sudah ada Deklarasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan namun kekerasan terhadap perempuan tetap ada dan
bahkan cenderung meningkat. Hal tersebut dapat diketahui oleh kita semua
melalui peristiwa-peristiwa dan isu yang terjadi di lingkungan masyarakat
maupun keluarga. Pada tahun 2012 lebih dari 213 kasus kekerasan perempuan
menghantui masyarakat. Terlebih aksi kekerasan terhadap perempuan terkesan
lebih terbuka, diekspos secara blak-blakan oleh media dan cenderung brutal
ataupun sadis. Sehingga, menimbulkan perspektif negatif di lingkungan
masyarakat.
PEMBAHASAN
A. TINDAKAN
KEKERASAN PEREMPUAN
Pengertian dan
Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Secara historis, adanya kekerasan adalah
setua umur manusia itu sendiri. Kekerasan dapat menimpa siapa saja, baik
laki-laki, perempuan, anak kecil maupun orang tua. Akan tetapi realitasnya,
kekerasan lebih banyak menimpa anak-anak, terutama kaum perempuan. Oleh karena
itu, kekerasan terhadap anak-anak khususnya perempuan, menjadi topik sentral
untuk segera dicari solusi dan akar penyebabnya. Secara etimologis, difinisi
kekerasan dibagi dalam dua kategori.
Pertama,
secara sempit kekerasan adalah perbuatan yang berupa pemukulan, penganiayaan
yang menyebabkan matinya atau cederanya seseorang ( kekerasan fisik). Kedua,
kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik, akan tetapi dapat dilihat dari segi
akibat dan pengaruhnya pada si korban. Kekerasan yang berdampak pada jiwa
seseorang, seperti kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah
kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental atau
otak.
Kekerasan,
atau violence pada dasarnya merupakan
suatu konsep yang makna dan isinya sangat bergantung kepada masyarakat sendiri,
seperti dikatakan oleh Levi (Levi, 1994: 295-353) dalam buku (Kekerasan
Terhadap Istri, 2002:11)
Sedangkan
Mansour fakih, dengan bahasa yang sederhana menyatakan bahwa, kekerasan
(violence) secara umum dapat diartikan sebagai suatu serangan terhadap fisik
dan psikis serta integritas mental seorang.
Kekerasan
seperti yang dikatakan oleh Galtung (Hayati, 2004: 140), merupakan "suatu.
tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih yang menimbulkan luka, baik secara
fisik maupun non fisik terhadap orang lain, dan lebih jauh merupakan suatu
tindakan yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya,
disebabkan oleh bentuk-bentuk opresi dan penindasan yang ditujukan kepadanya”.
Artinya, kekerasan menyebabkan seseorang dirugikan, atau mengalami dampak
negatif dalam berbagai bentuk.
Menurut John
Galtung (Noeke Sri Wardana, 1995:70), kekerasan adalah suatu kondisi sedemikian
rupa sehingaga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya.. Penulis juga lebih setuju dengan konsep kekerasan dalam arti
luas, yaitu yang tidak hanya meliputi kekerasan dalam arti fisik (penganiayaan
dan pembunuhan), akan tetapi juga meliputi kebohongan, indoktrinasi, ancaman,
tekanan dan sejenisnya bahkan penelantaran yang dilakukan untuk menghasilkan
akibat terhalangnya aktualisasi kemampuan potensial mental dan daya pikir
seseorang.
Dalam buku
(Memecah Kebisuan,2009:56),” menyebutkan bahwa kekerasan psikis, yaitu
perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis
berat pada seseorang. Kekerasan psikis dalam banyak kasus tidak kalah
menyakitkan daripada kekerasan fisik.”
Para feminis
berargumentasi bahwa dalam masyarakat dengan kultur patriarkhi yang menyebabkan
adanya ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan, 95% kekerasan
yang sering terjadi, korbannya adalah perempuan. Hal tersebut dipertegas oleh
John Galtung bahwa, dalam realitasnya kekerasan bentuk apapun pasti melibatkan
dua relasi yang tidak seimbang, yaitu ada pihak yang kuat sebagai pelaku dan
yang lemah sebagai korban. Oleh karena itu para feminis mengindetikan bahwa
kekerasan terhadap perempuan sama dengan kekerasan berbasis gender. Kekerasan
terhadap perempuan adalah setiap perbuatan yang berkaitan atau mungkin
berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan, secara fisik, seksual,
psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan dan perampasan kebebasan baik
yang terjadi di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan rumah tangga (Depkes
RI, 2006). Sedangkan kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang terjadi
karena keyakinan gender, yang mendudukan kaum perempuan lebih rendah
dibandingkan laki—laki.
Deklarasi
CEDAW 1993, menegaskan bahwa: kekerasan berbasis gender merupakan perwujudan
ketimpangan historis dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan yang mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh
kaum laki-laki dan hambatan kemajuan bagi mereka. Pernyataan ini sangat jelas
memperlihatkan adanya ketimpangan gender yang telah melembaga dalam ruang-ruang
kehidupan masyarakat melalui penempatan posisi laki-laki sebagai pemegang
otoritas dalam segala relasi antar manusia baik dalam ruang publik maupun
domestik. Sedangkan menurut Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap perempuan
menyebutkan bahwa, kekerasan berbasis gender adalah setiap tindakan berdasarkan
perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual dan pasiologis termasuuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan
umum atau dalam kehidupan pribadi. Berangkat dari difinisi di atas, ruang
lingkup kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan berbasis gender dapat
dikategorikan dalam ranah domestik maupun publik.
Kekerasan di
ranah publik ( publik violence), yaitu kekerasan yang dialami perempuan di luar
rumah atau di masyarakat pada umumnya. Sedangkan kekerasan dalam ranah domestik
( domestik Violence) yaitu kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Sedangkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 2 UDHR, meliputi: pertama, kekerasan
fisik, seksual dan psikologis dalam keluarga termasuk kekerasan yang
berhubungan dengan mas kawin, pemerkosaan dalam perkawinan, pengrusakan alat
kelamin, dan ekploitasi; kedua, kekerasan fisik seksual dan psiologis yang
terjadi dalam masyarakat luas, termasuk pemerkosaan, penyalahgunaan, pelecehan
dan ancaman seksual ditempat kerja dan lembaga-lembaga pendidikan, perdagangan
perempuan dan pelacuran paksa dan ; ketiga, kekerasan fisik, seksual dan
psikologis yang dilakukan dan/ atau dibenarkan oleh negara.
Fakih
mengelompokan bentuk kekerasan terhadap perempuan antara lain: pertama,
pemerkosaan terhadap perempuan termasuk dalam perkawinan. Pemerkosaan terjadi
jika seseorang melakukan paksaan untuk mendapatkan pelayanan seksual tanpa kerelaan
yang bersangkutan. Misalnya ketakutan, malu, depresi dan lain lain; kedua,
tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi di dalam rumah tangga
termasuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak-anak; ketiga, bentuk penyiksaan
terhadaap organ alat kelamin (genital mutilation) misalnya, sunat perempuan
dengan alasan mengontrol seks perempuan; keempat, kekerasan dalam bentuk
pelacuran. Pelacuran adalah bentuk kekerasan yang diselenggarakan oleh suatu
mekanisme ekonomi yang merugikan perempuan; kelima, pornografi. Perempuan
dijadikan objek demi keuntungan; keenam, kekerasan dalam bentuk sterilisasi KB,
demi “mulus” target kontrol pertumbuhan penduduk; ketujuh, kekerasan di tempat
kerja dan; kedelapan, pelecehan seksual atau sexual and emotional harassment
(Mansour Fakih, 2000: 78).
Sedangkan
Hermawan, mengelompokkan dalam: pertama, KDRT. Yaitu kekerasan yang dilakukan
oleh suami terhadap istri baik fisik, ekonomi dan psikologis; perbedaan
perlakuan anak laki-laki dan perempuan; kekerasan yang dilakukan oleh anggota
keluarga laki-laki terhadap anggota keluarga perempuan; kedua, kekerasan dan
pelecehan di tempat kerja. Biasanya sering terjadi pada pekerja perempuan.
Misalnya, colekan iseng pada organ seksual perempuan; pembicaraan yang mengarah
pada pornografi, ajakan tidak senonoh. Pelaku biasanya atasan dan teman kerja
laki-laki; ketiga, kekerasan dan pelecehan di tempat keramaian. Mencolek dan
rayuan gombal dan; keempat, kekerasan media. Kekerasan ini terjadi misalnya
pampangan gambar seksi para perempuan sebagai pemanis dan penarik sajian berita
(Iwan Hermawan, 2002: 7).
Perilaku
diskriminatif dan budaya patriarki di dalam masyarakat secara nyata telah
memarginalkan perempuan hampir dalam segala relung- relung kehidupan.
Budaya_patriarki menempatkan laki-laki sebagai fokus utama sehingga menimbulkan
relasi kuasa yang tidak seimbang antara laki- laki dan perempuan. Di dalam
relasi itu, laki-laki sebagai pihak yang dianggap lebih kuat belajar
mengendalikan dan mengontrol perempuan. Sehingga perempuan dilihat sebagai
objek kepunyaan dari laki-laki dan akhirnya membuat perempuan dianggap sebagai
makhluk yang lemah, dan perempuan sebagai warga negara kelas dua.
Lebih lanjut
dapat dikatakan kasus- kasus kekerasan terhadap perempuan bersumber pada
ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang diperkuat oleh
nilai-nilai patriarki yang dianut secara luas. Laki- laki disosialisasikan
untuk melihat perempuan sekedar objek pelengkap, tidak penting, dan dapat
diperlakukan seenaknya. Kenyataan ini dilengkapi oleh sosialisasi tentang
ciri-ciri yang dianggap positif pada perempuan (feminitas) yang menekankan pada
perempuan untuk bersikap pasrah, selalu. mendahulukan — kepentingan orang lain,
mempertahankan ketergantungannya pada laki-laki, serta menuntutnya untuk
mengutamakan peran sebagai pendamping suami dan pengasuh anak-anaknya.
Kekerasan_ sendiri merupakan salah satu bentuk dari kejahatan. Kekerasan
seperti yang dikatakan oleh Galtung (Hayati, 2004: 140), merupakan "suatu.
tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih yang menimbulkan luka, baik secara
fisik maupun non fisik terhadap orang lain, dan lebih jauh merupakan suatu
tindakan yang menyebabkan seseorang tidak dapat mengaktualisasikan dirinya,
disebabkan oleh bentuk-bentuk opresi dan penindasan yang ditujukan kepadanya”.
Artinya, kekerasan menyebabkan seseorang dirugikan, atau mengalami dampak
negatif dalam berbagai bentuk.
Bentuk-bentuk
kekerasan yang menimpa perempuan hadir dalam seluruh jenis hubungan sosial yang
dijalaninya, termasuk dalam hubungan keluarga, perkawanan dekat, dalam hubungan
kerjanya, maupun dalam hubungan- hubungan = sosial 1 kemasyarakatan secara
umum. Kekerasan itu pun dapat menimpa perempuan dimana saja, baik itu berada di
ruang "publik” ataupun ruang “privat”, berlangsung baik di komunitas yang
hidup dalam keadaan damai, ataupun dalam masyarakat yang berada di tengah
kemelut peperangan atau konflik bersenjata. Sehingga dapat dikatakan, tidak ada
satu pun tempat yang mutlak aman bagi perempuan.
Dari berbagai
macam_ bentuk kekerasan yang menimpa perempuan, bentuk yang paling umum
dikategorikan menjadi tiga jenis, yakni kekerasan fisik, psikologis, dan
seksual. Kekerasan fisik, yaitu kekerasan yang meninggalkan bekas nyata di
tubuh korban, seperti pukulan, tendangan,tamparan,sundutan rokok, dan
sebagainya. Sementara, kekerasan psikologis atau emosional, misalnya caci maki,
bentakan, kata- kata kasar, ancaman meninggalkan, cemburu berlebihan, dan
sebagainya. Sedangkan kekerasan seksual, bisa berupa ucapan tidak senonoh yang
berkaitan dengan seks, menyentuh bagian-bagian tubuh secara seksual di luar
keinginan korban, hingga memaksa melakukan hubungan seksual disertai
janji-janji atau paksaan. Ada juga yang disebut kekerasan ekonomi, contohnya,
mengharuskan salah satu pihak selalu mengeluarkan uang atau melarang bekerja. Terkait
dengan pemaknaan dan respons subyek yang terkesan seakan- akan menerima
kekerasan yang dialami mereka begitu saja, namun itu bukanlah kesalahan para
subyek. Nilai- nilai yang dianut dan diinternalisasikan selama ini, tidak hanya
kepada diri subyek, namun juga kepada semua individu di dalam masyarakat kita
yang patriarkal, akhirnya memperlihatkan bahwa itulah akar penyebabnya. Sikap
posesif pun kemudian dikonstruksi menjadi sebuah bukti cinta bahwa hal tersebut
merupakan cara laki-laki yang tidak ingin kehilangan pasangan perempuannya. Hal
inilah yang terjadi pada_ ketiga subyek. Pemaknaan mengenai status dan peran
tentang laki-laki dan perempuan di dalam suatu hubungan intim yang selama ini
mereka pahami, karena disosialisasikan dan diinternalisasikan ke dalam diri
mereka, membuat para perempuan yang menjadi korban ini kemudian menjadi sulit
keluar dari lingkar kekerasan yang terjadi.
Dominasi dan
kontrol yang dilakukan pasangan mereka masing- masing pun dapat dilihat
ternyata berdampak merugikan bagi ketiganya. Dalam paparan mengenai dampak
kekerasan yang terjadi, kita dapat melihat bahwa_ kekerasan __fisik, seksual,
ekonomi, dan bahkan psikis mempengaruhi para subyek. Semua bentuk kekerasan itu
menimbulkan cidera, terutama cidera emosional.
Kekerasan
dianggap sebagai sebuah perilaku yang dipelajari dan sering digunakan oleh
laki-laki sebagai sebuah cara menyelesaikan konflik. Kekerasan yang dilakukan
oleh laki-laki dilihat sebagai perilaku yang dirancang untuk mengintimidasi dan
mengkontrol perempuan. Perilaku agresif bahkan kekerasan yang dilakukan oleh
laki-laki seringkali mendapat pembenaran dari masyarakat sebagai sebuah
perilaku dan karakteristik yang merupakan hasil dari kebutuhan biologis yang
tidak dapat dikontrol.
Dalam
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan pada umumnya, terdapat satu ciri knas
dimana seorang pelaku tindakan kekerasan tersebut selalu merasa dirinya sebagai
lebih kuat dan korbannya sebagai lebih lemah. Hal ini kemudian menimbulkan
suatu pemikiran bahwa dalam suatu tindakan kekerasan terhadap perempuanterdapat
kontribusi dari suatu mekanisme sosial yang menyebabkan seorang perempuan
berada dalam posisi subordinasi dari laki-laki.
Bentuk-bentuk
”peraturan” _ ini, baik tertulis maupun_ tidak _ tertulis, maupun disadari atau
tidak, sebenarnya telah memberikan batasan-batasan tentang seperti apa dan
bagaimana sebenarnya status dan peran_laki- laki dan perempuan di dalam suatu
hubungan. Begitupula yang _ terjadi pada status dan peran perempuan dan
laki-laki di dalam hubungan pacaran. Dalam hal ini, status dan peran laki- laki
memberikan kesempatan yang lebih besar kepadanya untuk berbuat sesuatu,
termasuk untuk menganiaya pacarnya sendiri.
Walaupun
hanya —hubungan pacaran, yang tidak memiliki status ‘legal’
tetapikarenaanggapanyangtelah terbentuk sejak lama bahwa perempuan berkewajiban
untuk melayani, untuk menyenangkan pasangannya, dan rela berkorban demi orang
yang dicintainya, maka perempuan-perempuan ini pun memaknainya pun demikian.
Mereka tidak berani melawan karena_takut anggapan “perempuan baik-baik” akan
hilang. Sehingga untuk menghindari itu mereka pun berusaha untuk terus bersabar
dan seakan-akan menerima kekerasan yang menimpa mereka itu.
Pemaknaan
para subyek sendiri dalam memaknai dan merespons kekerasan yang mereka alami
agak berbeda. Ini disebabkan karena mereka mengalami kekerasan dengan
pengalaman yang berbeda-beda, di (Jurnal Kriminologi Indonesia Vol. 5 No. |
Februari 2009 : 43 – 55).
KESIMPULAN
Masyarakat
dengan kultur patriarkhi yang menyebabkan adanya ketimpangan relasi gender
antara laki-laki dan perempuan, 95% kekerasan yang sering terjadi, korbannya
adalah perempuan. Oleh karena itu, di balik tindak kekerasan terhadap perempuan
dalam ranah apapun, yang menjadi penyebab utamanya adalah ketimpangan historis
dari pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan
dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan oleh kaum laki-laki dan hambatan
kemajuan bagi mereka, yang telah melembaga dalam ruang-ruang kehidupan
masyarakat melalui penempatan posisi laki-laki sebagai pemegang otoritas dalam
segala relasi antar manusia baik dalam ruang publik maupun domestik, bahkan
mengejawantah dalam ruang-ruang ekonomi, politik maupun agama.
Perbuatan yang
berupa pemukulan, penganiayaan yang menyebabkan matinya atau cederanya
seseorang ( kekerasan fisik). Kedua, kekerasan tidak hanya dalam bentuk fisik,
akan tetapi dapat dilihat dari segi akibat dan pengaruhnya pada si korban. Kekerasan
yang berdampak pada jiwa seseorang, seperti kebohongan, indoktrinasi, ancaman
dan tekanan adalah kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi
kemampuan mental atau otak.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal :
Harkrisnowo,Harkristuti. “Tindakan Kekerasan Terhadap
Perempuan.” Jurnal Hukum 7.2(2000):
Print
Ajeng Guamarawati, Nandika. “Suatu Kajian Kriminologis
Mengenai Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Relasi Pacaran Heteroseksual.” Jurnal Kriminologi Indonesia 5.1
(2009):43-55 43 Print
Rudi Harnoko, B. “Dibalik Tindak Kekerasan Terhadap
Perempuan.” Jurnal Muwazah 2.1
(2010):35-45 Print
Buku :
Rofia,Nur.2009.memecah
kebisuan.Jakarta:Open Society Institute.
William-de
Vries, Dede. 2006. Gender Bukan Tabu.Bogor:Center
of International Foresty Research (CIFOR).
Djanah,Fathul.2002.Kekerasan
Terhadap Istri.Yogyakarta:PT.LKIS Pelangi Aksara Yogyakarta
Nunuk
P, A. 2004. Getar Gender. Magelang:Yayasan
IndonesiaTera.
Hearty, Free. 2015. Keadilan
Gender. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
CURICULUM VITAE
(DATA DIRI)
Nama : Putri Eka Dewanti
Agama : Islam
TTL : Ciamis, 6 Agustus 2000
Warga
Negara : Indonesia
Alamat : Desa Jombang, Kec.Ngombol, Kab.Purworejo,
RT/RW:01, Jawa tengah
No HP :082237985923
Alamat
Email :Eka810639@gmail.com
Pendidikan
Formal :
SD Negeri Jombang
|
|
2006-2012
|
SMP Negeri 11 Purworejo
|
|
20012-2015
|
SMA Negera 8 Purworejo
|
IPA
|
2015-2018
|
STIE Latifah Mubarokiyah PP Suryalaya
|
Program Studi Keuangan dan Perbankan
|
2018- Sekarang
|
Pengalaman
Organisasi:
Kabid kesehatan Dewan
Penggalang
|
2013-2014
|
SMP Negeri 11 Purworejo
|
Anggota Basket
|
2013
|
SMP Negeri 11 Purworejo
|
Anggota PKS
|
2013-2014
|
SMP Negeri 11 Purworejo
|
Ketua ekstra Tari
|
2015-2016
|
SMA Negeri 8 Purworejo
|
Kabid persahabatan PMR
|
2015-2016
|
SMA Negeri 8 Purworejo
|
Anggota UKM inteklam
|
2018-sekarang
|
STIE-LM Suryalaya
|
Anggota UKM Dance
|
2019
|
STIE-LM Suryalaya
|
Anggota English club
|
2018-sekarang
|
STIE-LM Suryalaya
|
Wasekum PP
|
2019
|
HMI Komisariat Pagerageung
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar